Rabu, 19 Agustus 2015

Istilah Wanci (Waktu) dina Basa Sunda


poe ieu = ayeuna nu keur dilakonan
isukan = sapoe nu bakal datang
pageto amat = sabada pageto
kamari = poe nu geus liwat sapoe
mangkukna = poe nu geus kaliwat dua poe

ayeuna = waktu nu keur kalakon
bieu = waktu nu cikeneh kalakon
tadi = waktu geus rada lila kalakon
engke = waktu nu bakal kalakon

kiwari = jaman nu keur dilakonan ayeuna
bareto = jaman nu geus lila kaliwat
baheula = jaman nu geus kaliwat, beh ditueun bareto
bihari = jaman nu geus kaliwat lila pisan
jaga = jaman nu lila keneh bakal kasorang
isuk jaganing geto = jaman nu lila keneh pisan bakal kasorang

sakedet netra = sakiceup (gancang pisan)
saharita = harita keneh
sakilat = waktu nu sakeudeung pisan (diupamakeun kana lilana kilat ngaburinyay)
sajongjonan = sawatara sekon
saumur jagong = lilana saumur jagong, kira-kira 3,5 bulan
sabulan campleng = sabulan jejeg
sataun landung = sataun leuwih
sawindu = dalapan taun
saabad = saratus taun
sausum = sakali usum



Selasa, 18 Agustus 2015

Mengenal Iket Sunda Buhun (kuno)

Iket adalah penutup kepala dari kain sebagai pakaian khas tradisional khususnya Jawa dan Bali. Istilah lain dari iket adalah totopong (Sunda, Jawa Barat) dan udeng (Bali). Umunya iket dipakai oleh kaum pria sebagai kelengkapan sehari-hari untuk menangkal roh-roh jahat, sebagai tanda kedewasaan pemakainya, dan sebagai atribut kelas dan kedudukan seseorang di masyarakat. Itu dulu, kini iket dikenal sebagai pakaian tradisonal budaya bangsa yang harus dilestarikan.

Di Jawa Barat dan Banten seperti di Bandung, Banten, Tasik, dan Garut, penutup kepala ini sering disebut Iket Sunda karena memang kental dengan tradisi dan budaya suku Sunda sejak jaman dulu. Awalnya nama iket diambil sebagai makna ikat atau ikatan yang erat hubungannya dengan budaya dan tauhid yang melambangkan ikatan silaturahim, tetapi karena dipakai dikepala, kini iket Sunda dikenal juga dengan ikat kepala.

Sebenarnya fungsi iket Sunda bukan hanya itu, bentuknya yang persegi (bisa dibongkar pasang) dan karena terbuat dari kain, iket Sunda dapat digunakan untuk:

Penutup kepala sebagai pelindung dari panas matahari, dinginnya cuaca, dan angin,

Membawa dan membungkus barang bawaan,

Sajadah (alas untuk ibadah shalat),

Simbol status sosial bagi kaum pria (dulu),

Tanda, bahwa si pemakai adalah orang




Sunda

Jenis iket Sunda yang merupakan warisan para leluhur ini cukup beragam, semuanya dipengaruhi oleh budaya setempat, tradisi masyarakat, dan para wisatawan yang datang ke daerah tersebut. Itulah sebabnya kini iket Sunda cukup bervariasi mulai dari bentuk, cara mengikat, warna dan corak.  Hal ini pulalah yang menyebabkan perbedaan antara iket Sunda dan Iket Bali.
Berdasarkan bentuk dan coraknya, iket Sunda dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu:

Iket Sunda Rekaan Baheula (model iket Sunda rancangan jaman dulu)
a. Julang Ngapak
b. Barangbang Semplak
c. Parekos Nangka
d. Kuda Ngencar

e. Parekos Jengkol
f. Kekeongan
g. Porteng
h. Maung Heuay

Iket Sunda Rekaan Kiwari (model iket Sunda rancangan sekarang)
a. Maung Leumpang (Harimau Berjalan)
b. Candra Sumirat
c. Hanjuang Nangtung

Iket Sunda Praktis
a. Makuta Wangsa
b. Parekos
c. Mancala Rupa
d. Lawon Sonagar

*sumber : http://www.isuk.tk/2014/09/iket-sunda-buhun-kuno.html

Makna dan Sejarah Iket Sunda

Iket atau totopong (Sunda) atau udeng (Bali) adalah penutup kepala dari kain merupakan bagian dari kelengkapan sehari-hari pria di pulau Jawa dan Bali, sejak masa silam sampai sekitar awal tahun 1900-an dan mulai populer kembali pada tahun 2013. Penggunaan iket bagi pria akil balik pada masa lalu menjadi keharusan karena dipercaya melindungi mereka dari roh-roh jahat, selain untuk fungsi-fungsi praktis seperti wadah /pembungkus, selimut, bantalan untuk mengangkut beban di kepala dsb, sedangkan saat ini lebih diperuntukkan sebagai aksesoris dan upaya melestarikan budaya.

Di Jawa Barat khususnya masyarakat Sunda, tutup kepala yang dibuat dari kain dikenal dengan sebutan iket atau totopong atau udeng, semuanya adalah pelindung kepala yang berfungsi sebagai kelengkapan berbusana. Di samping itu ada pula dudukuy yaitu tutup kepala yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan seperti bambu, kayu dan daun yang hanya berfungsi sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan.

Pada zaman dahulu iket juga mencerminkan kelas dalam masyarakat, hingga tampak jelas perbedaan kedudukan seseorang (pria) dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu iket Sunda juga sebagai bagian dari kelengkapan berbusana yang digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan budaya yang dikaitkan dengan nilai budaya, adat istiadat serta pandangan hidup masyarakat.

Makna Iket Sunda Pada mulanya kata iket merupakan kata umum yang artinya ikat atau ikatan. Akan tetapi karena sesuatu yang diikatnya itu kepala (pria) dan berlangsung saat dangdan atau dangdos atau berdandan akhirnya kata iket itu menjadi kata khusus atau istilah yang mengandung pengertian ikat kepala.

Iket dipandang dan dianggap tepat sebagai benda yang dapat melindungi kepala saat melakukan aktifitas dan sekaligus menjadi atribut sosial. Bentuknya yang beragam diciptakan sebagai simbol yang berkaitan dengan keagamaan, upacara adat, dan status sosial tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai peranan dalam suatu kelembagaan

Iket berpadanan kata dengan totopong dan udeng (bahasa Sunda halus). Di-totopong berarti mengenakan tutup kepala menurut aturan tertentu. Bentuk totopong itu ada yang disebut Bendo, Porténg, Lohén, Barangbang Semplak atau Mantokan, Kuda Ngencar dan Paros Nangka atau Kebo Modol”. Iket sebagai bagian dari kelengkapan anggoan pameget (busana pria) memiliki nilai estetik tinggi. Iket sebagai tutup kepala memiliki nilai yang lebih berharga dibandingkan dengan tutup kepala yang lain, karena dalam proses pembentukannyamemerlukan kejelian, keterampilan, ketekunan, kesabaran dan rasa estetika yang tinggi dari pemakainya. Hal ini akan membuktikan bahwa iket dapat mencerminkan status simbol pemakainya.

Selain itu iket juga memiliki makna secara ilmu pengetahuan dan kepercayaan,iket sangat erat kaitannya dengan unsur tauhid dan budaya. Iket memiliki makna mengikat seperti ikatan yang terbentuk dari tali. Iket juga berarti totopong yang berasal dari kata tepung (bertemu) yang mengalami pengulangan dan perubahan kata dasar te menjadi toto. Tepung artinya bertemu, bertemu dalam hal ini maksudnya simbol dari bertemunya ujung kain karena dibentuk simpul sebagai lambang silaturahmi. Iket mengandung makna mengikat kepala. Obyek yang diikat adalah kepala (pria). Kepala memiliki makna sebagai pemimpin tubuh dengan isinya yaitu otak. Otak merupakan tempat pikiran dan organ manusia sebagai ciri manusia makhluk mulia ciptaan Tuhan. Dengan otak ini manusia memiliki cipta, karsa, rasa sehingga mampu berpikir. Dengan memakai iket, kepala sebagai organ penting dapat dilindungi.

Iket dibentuk dari kain berbentuk bujur sangkar yang memiliki empat sudut. Keempat sudut itu memiliki makna sebagai sudut kereteg haté (kereteg = perasaan atau suara yang timbul dengan sendirinya, haté = hati. kereteg haté diartikan sebagai niat), ucapan (lisan), tingkah (sikap), dan raga (badan) yang kemudian kain itu dilipat dua membentuk segitiga sama kaki dengan tiga sudut. Ketiga sudut tersebut mencerminkan tiga azas tritunggal kesetaraan dalam hidup kemasyarakatan yakni tritangtu yang terdiri dari resi pemimpin agama, rama (pemimpin rakyat) dan perebu (pemimpin wilayah).

Diharapkan azas ini dijalankan dengan keharmonisan antara tekad, ucapan, tingkah laku yang terangkum dalam raga manusia. Iket juga memiliki makna ngawengku (mengikat) segala urusan yang berhubungan dengan keduniawian seperti yang disampaikan bahwa iket digunakan oleh para Saéhu. Saéhu adalah seorang pemimpin rakyat yang saé jadi hulu, saé hubungannana, tiasa ngiket kana sagala persoalan kamasyarakatan jeung kahirupan (bagus untuk dijadikan ketua atau pemimpin, bagus hubungan sosialnya, mampu mempersatukan dan menyelesaikan.

Iket Sunda pada masa dahulu merupakan salah satu kelengkapan busana pria yang sangat penting. Penggunaan iket bagi masyarakat Sunda berfungsi sebagai:

a. Penutup rambut.
b. Pelindung kepala.
c. Alat untuk melindungi diri.
d. Alat untuk membawa barang.
e. Alat untuk menyimpan barang.
f. Sebagai sajadah pada saat melaksanakan sholat lima waktu.
g. Simbol status sosial pria atau sebagai simbol yang menunjukkan identitas dalam lingkungan pergaulan sehari-hari. Simbol ini ditunjukkan melalui model dan jenis kain yang digunakan untuk iket.
h. Penghormatan terhadap kedudukan seorang pria seperti digunakan apabila menghadap priyayi, pejabat pemerintah setempat dan ulama.

Dewasa ini fungsi iket Sunda secara umum sebagai:
a. Salah satu penanda etnis Sunda.
b. Penanda etnis Sunda pada busana adat.
c. Penanda etnis Sunda pada busana tari pertunjukan.

Terdapat perbedaan model iket untuk di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ada beberapa model iket yang diberi nama-nama seperti barangbang semplak, parekos, atau porteng.

Struktur Bagian Dan Motif Iket Sunda

STRUKTUR BAGIAN

Bentuk lembar kain untuk iket Sunda adalah berbentuk segi empat sama sisi/bujur sangkar. Warna kain ada yang polos biasanya warna putih atau hitam. Beberapa kampung adat kain iketnya sudah memakai motif tertentu, kemungkinan dimulai ketika jaman mulai pembuatan batik di nusantara, dan sampai sekarang kain iket bermotif batik ini masih dipakai sebagai ciri khas iket kampung adat.

Motif yang terdapat di kain iket mempunyai bagian khas yaitu:

1. PAGER: Sekeliling sisi kain diberi motif tertentu untuk estetika maupun pemaknaan.

2. MODANG: Bentuk kotak bujur sangkar, dengan posisi diagonal terhadap sisi tepi kain.

3. WARUGA: Area yang kosong di selain bagian Pager dan Modang kadang hanya warna polos saja, juga kadang diberi motif tertentu, diseni batik biasanya semua bagian kain di penuhi motif yang gambarnya bermacam jenis berisi simbol-simbol dan kode-kode filosofi maupun catatan sejarah-cerita tertentu.

4. JURU: Adalah bagian sudut pertemuan Pager: di beberapa motif iket diberi aksen gambar, berupa logo, simbol atau bentuk pemaknaan yang mencirikan hal tertentu: bagian ini hanya dibeberapa iket kuno saja, dan dikembangkan saat ini di beberapa desain iket untuk organisasi tertentu.

Ke-empat komponen diatas tentunya tidak semua ada di iket kampung adat Sunda, malah ada yang hanya polos saja (kampung adat Baduy Dalam/kampung adat Dukuh) atau iket batik ciri khas Kanekes Baduy Luar, tidak memakai bagian modang, hanya motif batik di bagian pager dan waruga-nya saja.

STRUKTUR MOTIF

Secara umum motif yang terdapat di iket Sunda adalah sebagai berikut:

1.    Amotif/Polos (tanpa motif):
Kampung Adat Kanekes, Kampung adat Dukuh, tatar Sunda kulon, sampai saat ini memakai kain polos sebagai ciri khasnya; kain hitam biasanya dipakai unuk sehari-hari dan kain putih untuk upacara tertentu. Kain putih (pangsi/pakaian khas Sunda dan iket kepala) menjadi ciri khas Baduy Dalam.

2.    Motif Batik:
Batik tulis, Batik Cap, Batik Print (babatikan); dari sejak jaman kerajaan /kesultanan masa lalu, iket kepala dengan memakai motif teknik batik sangat populer, sampai saat ini banyak peninggalan iket Sunda batik kuno dengan desain dan motif yang sangat indah. Ciri khas motif batik sunda sama dengan batik sunda pada umumnya, seperti motif Garutan, Tasik, Cirebonan, Indramayu, Kuningan, dsb.

3.    Motif Kontemporer:
Saat ini mulai banyak di ciptakan inovasi-inovasi baru dalam membuat motif iket sunda, inovasi dari segi teknik produksinya maupun dari reka rupa motifnya. Beberapa teknik produksi yang sudah dilakukan adalah; lukis kuas seperti melukis di kanvas lukisan, media kain iket dengan motif klasik maupun motif modern; sablon, teknik cetak saring (screen printing), teknik Discharge (cabut warna); teknik Tiedye  (ikat celup), dan berbagai teknik lainnya sehingga secara visual, iket sunda kontemporer ini semakin kreatif dan beragam.

4.    Motif Identitas Komunitas
Tidak dapat dipungkiri lagi saat ini iket sunda menjadi ciri khas organisasi terutama di tatar pasundan, sebab kreatifitas masyarakat saat ini tak dapat dibendung lagi, selalu mencari hal-hal baru, budaya semakin berkembang dan semakin banyak pilihan; kini iket sunda juga berfungsi sebagai ciri khas sebuah organisasi atau Komunitas yang mempunyai satu tujuan, terutama di kawasan kasundaan.

5.    Motif Kolaborasi:
Semakin derasnya arus teknologi informasi memungkinkan terjadinya percampuran motif antar daerah/ budaya, ditambah lagi karakter sunda yang Someah (terbuka) menghasilkan percampuran/kolaborasi motif klasik dengan beberapa motif kekinian (kontemporer); motif Sunda dengan motif budaya lainnya seperti (Jawa, Padang, Bali, Indian, Eropa, dsb). Tentunya hal ini masih dianggap tabu oleh beberapa kalangan, ada kekhawatiran makin hilangnya ciri khas asli motif sunda, hal ini bisa diantisipasi dengan menjaga esensi filosofinya walaupun secara visual berubah beberapa bagian. Perpaduan tentunya bukan sesuatu yang negatif, kalau ditinjau dari makna dasar iket adalah “ikatan”, maka saling mengaitkan diri dengan budaya lainnya itu malah mempertegas makna ‘iket sunda’ itu sendiri. Semoga hal ini tetap terjaga!

Ke-lima pembagian diatas tentunya kedepannya akan bisa bertambah, dikarenakan produk budaya akan terus berkembang. Apapun bentuk motif yang dipakai di iket sunda tidaklah menjadi batasan yang terlalu mengikat, yang penting esensi filosofi dan karakteristik dasarnya tak berubah yaitu karakter khas sunda yang Silih Asih Silih Asah Silih Asuh, Silih Wangi. Sumber

Iket Sunda: Makutawangsa

Digambarkan tahapan iket Makutawangsa, pada tahap pertama disebut Opat Kalima Pancer atau dapat juga diartikan diri menyatu dengan unsur-unsur utama alam yaitu: Angin, Cai (Air), Taneuh (Tanah) dan Seuneu (Api). Kemudian segi empat tadi dilipat menjadi bentuk segitiga yang merupakan refleksi Diri, Bumi dan Negeri. Refleksi ini dikenal dengan sebutan Tritangtu dalam falsafah sunda. Kemudian lakukan lipatan sebanyak lima kali, disebut sebagai Pancaniti.
Pola iket Makutawangsa yang kalau dibalik menjadi Barangbang Semplak menghasilkan akhir pola ikatan ke atas dan ke bawah. Yang bermakna panceg ka luhur, tapi ulah pohang (melihat ke atas pada Sang Pencipta dan tidak sombong). Begitulah filosofi makutawangsa yang pada masanya dipakai oleh bangsawan kerajaan alias pemimpin yang tetap rendah hati, bentuk sosok pemimpin yang jarang ditemui pada masa ini.

Filosofi Iket Sunda


“Saceundeung Kaen” yang terdapat dalam naskah kuno Bujangga Manik, isi naskah baris 36). Kalimat yang tertulis di atas merupakan sebuah penggalan yang terdapat dalam naskah kuno Bujangga Manik yang menceritakan perjalanan Prabu Jaya Pakuan, seorang Raja Pakuan Pajajaran yang memilih hidupnya sebagai Resi. Naskah diperkirakan ditulis sekitar abad ke-14. Isi naskah terdiri atas 29 lembar daun Nipah yang masing-masing berisi 56 baris kalimat, terdiri atas 8 suku kata.

Pemakaian Iket

“Saceundeung Kaen” mengandung arti selembar kain yang sering digunakan sebagai penutup kepala. Di tatar Sunda biasa disebut juga totopong, iket, atau udeng. Pemakaian iket berkaitan dengan kegiatan sehari-hari ataupun ketika ada acara kegiatan resmi seperti upacara adat dan musyawarah adat. Tidak ada bukti tertulis mengenai sumber sejarah tentang penamaan iket atau yang sekarang disebut rupa iket. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman, penamaan untuk rupa iket menjadi bagian dari kebudayaan yang mengandung nilai dan makna tersendiri.

Kategori Iket Buhun Dan Kiwari

Penamaan atau rupa iket dikategorikan sesuai zamannya, yaitu iket buhun (kuno) dan iket kiwari (sekarang). Untuk iket buhun sendiri ada yang berupa bentuk iket yang telah menjadi warisan secara turun-temurun dari para leluhur, ada pula rupa iket yang lahir dari kampung adat. Sementara itu, untuk iket kiwari, iket tersebut merupakan rekaan dari beberapa orang yang memiliki rasa kebanggaan sebagai bentuk kreatifitas terhadap budaya iket buhun dan kreativitas dari nilai kearifan lokal.

Dalam rupaan iket, di dalamnya terkandung filosofi. Hal inilah yang membuat iket itu sendiri menjadi salah satu warisan leluhur yang mengandung nilai yang begitu tinggi adanya. Seperti filosofi yang terkandung dalam rupa iket Julang Ngapak yang konon dahulunya dipakai khusus oleh para Pandita kerajaan atau disebut Purahita. Filosofi yang terkandung berdasar kepada laku hidup seekor burung Julang (Sundanese Wrinkled Hornbill). Tipe burung ini sebelum mereka mendapatkan sumber air tersebut, mereka tidak akan berhenti mencari. Karakter inilah yang diadopsikan menjadi simbol Julang Ngapak, yaitu bahwa kita jangan pernah lelah mencari sumber kehidupan (ilmu, darma, dan jatidiri) sebelum mencapai hasil yang diinginkan.

Awal Mulai Dikenal

Iket atau Totopong (ikat kepala) itu sendiri mulai dikenal sekitar tahun 1450 Masehi atau pada masa Kerajaan Pajajaran. Awalnya, totopong dikenakan untuk melindungi kepala dari panas terik dan sebagai identitas diri. Pada masa perang kemerdekaan, totopong digunakan sebagai identitas para pejuang. Pada era itu pula, totopong menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan. Totopong juga menjadi simbol pemersatu dan pengobar semangat orang Sunda kala itu.

Corak Iket

Totopong merupakan ikat kepala terbuat dari kain polos atau kain batik. Ukuran kain pada umumnya kurang lebih sekitar 1 meter persegi. Khusus totopong, memiliki ukuran setengah meter dan bentuk kain terbelah tengah secara diagonal atau sering disebut setengah iket. Totopong biasanya memiliki motif batik khusus, misalnya batik Kangkung, Kumeli, Sida Mukti, Kawung Ece, Seumat Sahurun, Gjringsing, Manyingnyong, Katuncar Mawur, Kalangkang Ayakan, Porod, Eurih. Sebagai masyarakat agraris, para leluhur Sunda memanfaatkan totopong sebagai pelindung dari sengatan matahari dan gangguan hewan saat bekerja di sawah.

Beberapa Nama Iket:

Fungsi iket/totopong sebagai simbol identitas diri dilihat dari pola mengikatnya. Bentuk ikatan totopong menunjukkan status sosial, cara mengikat totopong antara bangsawan dan rakyat berbeda. Setidaknya ada 22 atau lebih cara mengikat totopong di kepala. Beberapa model ikat misalnya yang paling sederhana, Perengkos Nangka. Biasanya dipakai oleh orang tua yang sedang tergesa-gesa, jadi cukup dibelitkan di kepala. Kalangan jawara atau jagoan, lain lagi ikat kepalanya, yaitu mereka menggunakan model Barangbang Semplak atau Kuda Ngencar.

1.   Barangbang Semplak : Iket ini seperti barangbang (dahan kering) yang patah tapi masih nempel dipohon. Culannya hampir menutupimata. Bagian atasnya terbuka (terlihat rambut).Bisanyaiket model ini duludipakai oleh para jawara.
2.       Julang ngapak : Bentuk iket ini seperti sayap burung terbang.Dipakai oleh para orang tua.
3.       Kekeongan : (di Banten disebut borongsong keong), bentuknya mirip seperti keong.
4.     Kuda ngencar : Iket yangculanya dibelakang, ngampleh(tergerai) ke bawah. begitu mau ke bagian ujung (melengkung)naiklagi ke atas.
5.       Maung Heuay : Bentuk iket ini seperti mulut harimau yang sedang nganga (terbuka).
6.    Parekos Nangka : Bentukiket ini sangat sederhana (basajan). Biasanya dipakai oleh orang yang sedang tergesa-gesa.
7.       Porteng : Iket yang culanya berdiri di depan, dan ujung-ujung kainnya digulung ke belakang.
8.      Talingkup : Iket yang culanya didahi sampai menutupi mata. Talingkup artinya bisa menutupi.

Iket Menyimbolkan :

1.       Syahadat
2.       Sholat
3.       Zakat
4.       Puasa
5.       Naik Haji (bagi yang mampu)

Lalu dilipat menjadi  segitiga yang menyimbolkan :

1.       Alif
2.       Lam
3.       Mim

Kalau di satukan dan dibaca jadi Alam. Kenapa Alam? Padahal bisa saja Ilmi, Ilmu, Ulum atau Alim? tidak akan ada Ilmi, Ilmu, Ulum dan Alim kalau tidak ada Alam. Alam yang mana? Alam yang sudah dan sedang akan terjadi, yang diciptakan oleh Allah SWT. Yang dilakoni/dihuni oleh Nabi Adam AS beserta keturunannya, yang diakhiri oleh Rosulullah SAW.

Lipat dalam beberapa lipatan yang rapih, sedangkan besar kecilnya lipatan menyesuaikan besarnya pipi menyimbolkan: Tartib (mendahulukan yang memang harus didahulukan, mengakhirkan yang harus diakhirkan) semua pekerjaan harus dilakukan secara dewasa dan sesuai kemampuan. Lalu diikatkan ke kepala, agar kita Ingat:

1.       Dari Mana
2.       Lagi Dimana
3.       Mau Kemana

Sebagai Kekayaan Budaya

Iket merupakan kekayaan budaya tutup kepala tatar Pasundan. Selain iket, urang Sunda mengenal beragam tutup kepala lainnya: Mahkota, Tudung/Cetok, Dudukuy, Kerepus/Kopiah, Peci, Topi, dll. Tapi, yang masih erat dan langgeng dipakai dalam keseharian sampai sekarang khususnya yang terdapat di masyarakat adat (Baduy, Ciptagelar, Kampung Naga, dll) adalah Iket.

Menurut Ralph L. Beals dan HarryHaijer dalam bukunya An Introduction to Antropology, tutup kepala merupakan bagian kelengkapan busana suatu kelompok, yang bahan dan modelnya sangat besar dipengaruhi oléh lingkungan dan budaya yang mempunyai fungsi praktis, estetis, dan simbolis.

Fungsi Praktis, Estetis Dan Simbolis

Fungsi praktis merupakan alat penutup dari panas, hujan, benda yang membahayakan, serta pembungkus barang dan makanan. Fungsi estetis sebagai aksesoris (life style). Sedangkan fungsi simbolis merupakan ciri untuk membedakan identitas dengan suku lain, serta terkandung nilai-nilai luhur kajembaran palsafah hidup.

Bukti Peninggalan Sejarah

Bukti masyarakat Sunda erat dengan tutup kepala yaitu adanya mahkota Binokasih peninggalan Kerajaan Pajajaran, yang kemudian diwariskeun kepada Kerajaan Sumedang Larang (sekarang menjadi koléksi Museum Geusan Ulun, Sumedang). Sedangkan iket terdapat pada arca megalitik di Cikapundung (sekarang daerah Kebun Binatang, Bandung), yang bentuknya menyerupai kepala memakai iket.

Sebagai Stratasosial

Dalam kehidupan masyarakat Sunda bihari/dulu, kelengkapan busana, termasuk iket, merupakan pembeda antara golongan ménak/bangsawan dan cacah/rakyat biasa. Khusus untuk iket, yang membedakannya adalah bahan, corak/ motif, dan beulitan/rupa iket. Golongan ménak menggunakan bahan kain batik halus dengan motif tertentu seperti Réréng dan Gambir Saketi yang menunjukkan stratasosial tinggi (feodalis). Sedangkan golongan cacah biasanya menggunakan kain batik sisian/batik kasar dan polos hitam (iket wulung).

Falsafah

Secara filosofis, iket berasal dari kata saiket/satu ikatan, artinya sauyunan dalam satu kesatuan hidup. Ibarat lidi, jika sehelai tidak mempunyai fungsi, tapi jika dibentuk menjadi satu ikatan sapu, maka akan mampu membersihkan apa pun. Begitu pula manusia berlaku individual, tentu berat menghadapi suatu masalah. Lain ceritanya jika dilakukan bersama. Iket juga menandakan agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dari jati diri Kasundaan.

Kepala merupakan subjek yang diikatnya, dan persoalan yang datang dari luar dan dalam dirinya merupakan objek yang harus dihadapi. Agar hidup senantiasa Caringcing pegeuh kancing, Saringset pageuh iket (siap menghadapi segala kondisi dan situasi).

Bagi urang Sunda, penghargaan terhadap kepala begitu luhur karena fungsinya sangat vital bagi kehidupan. Kata pamali merupakan larangan keras jika seseorang memukul atau menepuk kepala orang lain sekalipun. Hal tersebut bisa ditemukan dalam berbagai istilah keseharian seperti;

1.       Huluwotan (mata air)
2.       Hulubalang (pengawal raja)
3.       Panghulu (penghulu)
4.       Gedé hulu (sombong)
5.       Asa Dicabakhulu (merasa dipermainkan)
6.       Teu Puguh Hulu Buntutna (tidak jelas urusannya)
7.       Nepi ka nyanghulu ngalér (sampai mati), dsb.

Bentuk Dan Bagian Iket

Bagian dalam iket dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1.       Pager: Motif yang ada di sekeliling iket.
2.       Modang: Bentuk kotak pada bagian tengah iket.
3.       Waruga: Bagian tengah iket yang polos.
4.       Juru: Motif yang ada di setiap sudut iket.

Ada dua bagian, yaitu persegi dan segitiga. Sebernarnya semua bentuk iket adalah persegi empat, menjadi segitiga karena dilipat atau dipotong dari bentuk asli untuk mempermudah pemakaian.

Iket Persegi (Kotak)

Bentuk ini mempunyai falsafah hidup masagi/sempurna dalam arti pemikiran, dengan siloka opat kalima pancer atau opat pancer kalima diri urang. Pancer menunjukkan empat madhab/arah (utara, selatan, timur, barat) dan bahan yang menjadi dasar kehidupan (tanah, air, angin, api).

Modang

Dalam iket persegi empat  terdapat motif persegi empat kecil ditengah yang selalu berlawanan dengan bentuk iket (diagonal), untuk membedakan dengan kain lain yang sejenis. Jika iket dilipat jadi segitiga, maka bentuk modang ini akan lurus (horizontal). Hal ini menunjukkan panceg/konsisten terhadap pandangan hidup.

Iket Segi Tiga

Sedangkan bentuk segitiga itu sendiri adalah kesamaan konsep Tritangtu (ratu, rama, resi) yang harus dimaknai secara luas.

Jenis Iket

Awalnya hanya dikenal tujuh bentuk pemakaian. Tapi, seiring dengan kreatifitas masyarakatnya, rupa iket semakin bervariasi, antaranya Barangbang Semplak, Parékos Nangka, Parekos Gedang, Koncér/Paitén, Julang Ngapak, Lohén, Ki Parana, Udeng, Pa Tua, Kolé Nyangsang, Porténg, dll.

Menunjukan Golongan

Dari rupa iket dapat digolongan, saperti rupa iket:

1.       Barangbang Semplak (di Cirebon disebut iket mantokan urung ceplakan) biasa dipakai oleh jawara.
2.       Kuda Ngencar untuk remaja.
3.       Parékos/Paros Nangka, Gedang (di Cirebon disebut iket duk liwet) dipakai oleh orang tua untuk kegiatan ritual.
4.       Porténg dipakai untuk kegiatan sehari-hari dalam bekerja.
5.       Udeng dipakai golongan ménak.

Bukan Sekadar Gaya

Iket merupakan warisan budaya yang luhur nilainya, harus kukuh dipegang sebagai wujud simbolis keutuhan hidup. Begitu juga bagi urang Sunda sendiri, apakah hanya membanggakan luarnya saja sebagai bentuk indentitas, atau lebih mementingkan isinya. Menurut Dr. Ir. Thomas NIX, peneliti dari Belanda (Stedebouwin Indonesia Rotterdam, 1949), leluhur masyarakat Indonesia, hususnya Pulau Jawa, sudah mewariskan kearifan lokal dalam segala unsur kehidupan.

“ Nu lima diopat keun, nu opat ditilu keun, nu tilu didua keun, nu dua dihiji keun, nu hiji jadi kasép “  (yang lima dijadikan empat, yangempat dijadikan tiga, yang tiga dijadikan dua, yang dua dijadikansatu, yang satu jadi tampan), kalimat yang diucapkan budayawan Jakob Sumarjo ini, tentunya harus direnungi bagi setiap pemakainya. Bukan sekedar gaya, tapi harus dipahami makna dibalik lipatannya. Ketika dari lima menjadi satu, maka individu berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan yang satu.

Melihat fenomena yang muncul kini, iket semakin tren di kalangan anak muda. Dengan berbagai motif dan gaya pemakaian. Bisa jadi dilator belakangi oleh kerinduan terhadap nilai tradisional yang semakin tergerus oleh modernisasi. Atau hanya sekedar pencitraan identitas tanpa pemaknaan.

Meskipun demikian, harus jadi kebanggaan bersama dengan diarahkan pertanggung-jawabannya, bahwa mengenal dan memaknai kembali kebudayaan Sunda tidak harus secara paksa. Tapi, diawali dengan kesadaran kecintaan melalui iket. Dengan cara itu, iket tidak akan kalah dengan ikat kepala/syal bergambar grup musik barat.

Iket Buhun (kuno)

Generasi muda saat ini banyak yang gandrung dengan pemakaian “iket“. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam membentuk “iket”, tetapi tetap memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya “buhun” (kuno). Di luar rupa atau penamaannya, iket Sunda sendiri mengandung nilai makna filosofi yang dikenal dengan sebutan Dulur Opat Kalima Pancer. Dulur Opat merupakan empat inti kehidupan yaitu api, air, tanah, dan angin. Dan Kalima Pancer mengandung makna yaitu berpusat pada diri kita sendiri. Secara garis besar, Dulur Opat Kalima Pancer memiliki arti bahwa empat elemen inti tersebut terdapat pada diri kita dan berpusat menyatu sebagai perwujudan diri.

Iket Kiwari (sekarang)

Mengenai iket kiwari yang telah berkembang saat ini, penamaan dan bentuk tetap berdasar kepada pola rupa iket buhun. Tanpa mengurangi nilai luhur dari warisan leluhur, begitu pun iket kiwari memiliki nilai-nilai filosofi di dalamnya. Hal inilah yang menjadi bagian dari pelestarian budaya yang bersifat kreatif, tetapi tetap memegang teguh nilai kearifan lokalnya. Terutama di kalangan generasi muda. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam membentuk iket tetapi tetap memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya buhun (kuno).

Iket Dalam Pandangan Islam

Didalam konteks keberagaman, sesungguhnya ada keterkaitan erat antara nilai-nilai filosofi iket dengan fungsi penutup kepala dalam kaitan nilai Islam. Fungsi dari iket menurut Islam umumnya adalah bisa digunakan sebagai sajadah, pengganti tutup kepala. Hal itulah yang membentuk hubungan antara manusia dan Allah Sang Pencipta yang disebut Hablumminallah. Fungsi sebagaiHablumminanas adalah iket sebagai penyambung silaturahmi berdasarkan warisan budaya dan iket sebagai bagian dari cara saling memberi ilmu pengetahuan.

Dalam dunia Islam, dikenal serban atau sorban sebagai penutup kepala, sebagai bagian dari kelengkapan dalam salat atau beribadah. Memakai serban bagi umat Muslim adalah sunnah Nabi. Dalam beberapa hadis riwayat para sahabat Nabi Muhammad SAW, mereka menceritakaan bahwa Nabi selalu menganjurkan agar memakai penutup kepala sebagai bagian dari kelengkapan pakaian salat dan bahkan di luar salat.

Iket Cakraningrat

Di tatar nusantara sendiri, kita mengenal Wali Songo. Dari beberapa sumber sejarah, kesemuanya memakai penutup kepala. Menurut Oom Somara de Uci, sejarawan dari Rajagaluh, dahulu model rupa iket para wali diadopsi dari rupa iket Cakraningrat yang merupakan warisan Prabu Cakraningrat yang memiliki kekuasaan kerajaan sekitar Rajagaluh Majalengka. Iket yang dikemudian hari disebut iket Cakraningrat ini mengandung nilai filosofi yaitu iket yang melindungi Mustika yaitu Mastaka (kepala).

Ini bisa bermakna, mustika ini adalah kepala kita yang memiliki sumber dari sifat dan sikap kita di dunia dari sudut pandang manusia yang memiliki otak sebagai akal pikiran yang bisa memilih mana yang baik dan buruk. Bahkan, dalam perkembangan waktu, model iket Cakraningrat ini disebut pula iket para wali.

Perbedaan iket Cakraningkat ini dengan iket Sunda lazimnya yaitu terlihat dari model kainnya. Iket Sunda pada umumnya berupa kain segi empat, sedangkan iket Cakraningrat ini memakai kain persegi panjang sejenis karembong (selendang). Cara pemakaiannya rata-rata hanya diselipkan, tidak diiket atau ditali. Cara yang sama seperti pemakaian serban di kepala. Memang tidak ada sejarah tertulis sebagai bukti yang mendukung tentang iket Cakranignrat ini, tetapi perbedaannya menjadi bagian dari kekayaan budaya Sunda.

Iket Dalam Hukum Pancadharma

1.       Apal jeung hormat ka Purwadaksi Diri (Menyadari dan menghormat kepada asal usul diri)
2.       Tunduk kana Hukum jeung Aturan (Tunduk akan hukum dantata tertib/ aturan)
3.       Berilmu (Dilarang Bodoh)
4.       Mengagungkan Sang Hyang Tunggal (Allah SWT)
5.       Berbakti kepada Bangsa dan Negara (Nusantara yang sesungguhnya, bukan Indonesia hari ini)

Lima Hukum yang menjaga perilaku Bangsa Sunda yang ”dititipkan” melalui pola Iket Sunda/Totopong, maka Ikat Kepala bukan sekedar Gagayaan belaka.

Wastrana Iket Segi Empat.

Juru anu opat, ngawakilan dulur 4 ka 5 pancer:

1.       Amarah
2.       Lowamah
3.       Sawiyah
4.       Mutmainnah.

Ari pancerna nya di lambing keun ku Modang segi opat di tengah na, maksudna diri pribadi sewang-sewangan.

Wastrana Iket Segi Tilu.

Segi tilu perwujud tina hukum Tritangtu:

1.       Karama’an
2.       Karatuan
3.       Karesian (agama)

Mustika Maskata

Ikét dipasangna dina mastaka, kulantaran dina mastaka aya mustika (tempat ngolah sagala rupa pamikiran antara hade jeung goring jeung sajabana, anu tungtungna diputuskeun ku pancér hasil tina urun rembug antara dulur nu opat.

Ibo Zavasnoz (Iket Sunda Kiwari)

Mari Hapus Penomena Tak Beretika !!!

Pergeseran nilai budaya bangsa ini mengalami kemunduran yang notabene masuknya budaya-budaya asing yang lebih cenderung meng-invasi nilai estetika dan norma adab bangsa ketimuran khususnya Indonesia, ditandai dengan bangganya sebuah generasi muda dalam explorasi nilai budaya asing tanpa membanggakan budaya bangsanya sendiri. Tentunya sangatlah tidak mudah dalam mengembalikan kejayaan budaya tanah leluhur ini bila saja generasi muda tidak lagi peduli terhadap kekayaan budaya serta kearifan lokal yang terkandung disetiap wilayah-wilayah itu sendiri.

Masyarakat pada umumnya saat ini telah memiliki paradigma atau sudut pandang yang seolah "Mengkerdilkan" suatu budaya yang bernilai luhur dengan beranggapan apabila melihat seseorang dengan berpenampilan memakai baju adat (Pangsi) atau Ikat Kepala (iket) mereka akan beranggapan orang tersebut seolah "Dukun" dll ..(sungguh penomena yang tak beretika). Bisa ditarik kesimpulan bahwa anggapan mereka berdasarkan apa yang dilihat mungkin saja dari sebuah cerita piksi film, televisi, cerita majalah dll.

Disinilah peranan penting para sesepuh dan budayawan suatu wilayah yang sejatinya selalu memberikan makna sejarah adat budaya leluhur yang agung kepada generasi muda berikutnya agar terus mencintai budaya-budaya bangsanya sendiri, mari sedikit demi sedikit kita hapus paradigma atau sudut pandang tersebut dengan tetap berpegang teguh kepada jatidiri budaya itu sendiri.

*Sudut Pandang:
Tentunya tulisan/rangkuman diatas adalah menggambarkan banyaknya persepsi sebagai individu atau sebagai masyarakat adat yang berada ditatar pasundan yang sampai saat ini tetap kukuh mempertahankan adat budaya leluhur kasundaan itu sendiri. Mungkin saja masih banyak lagi sudut pandang serta nilai keberagaman lainnya yang itu menjadikan bukti bahwa Sunda adalah budaya yang luhur dan agung.

*Pelbagai Sumber